Membumikan Makna Kurban

Barangkali, tak ada peristiwa paling menegangkan dalam sejarah perjalanan para nabi dalam mewujudkan kecintaannya kepada Tuhan selain yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail. Peristiwa itu bukan saja menguji totalitas keimanan Ibrahim, melainkan juga menguji mentalitas Ismail yang saat itu masih anak-anak.
Memang agak sulit memasukkan peristiwa tersebut dalam logika masyarakat secara umum. Mustahil seorang ayah rela hati menyembelih anaknya, lebih-lebih jika anak semata wayang. Kecuali bila peristiwa tersebut ditafsiri dalam konteks keimanan kepada Tuhan atau karena memang diperintahkan oleh Tuhan. Maka tak heran jika KH. Hussein Muhammad (2004), memaknai ritual kurban yang dilakukan Ibrahim sebagai peristiwa simbolik, bukan dalam arti nyata.
Secara terminologis, kurban berasal dari bahasa Arab “qurban” yang bermakna pendekatan, yakni upaya mendekatkan diri kepada Ilahi. Dengan demikian, menjalankan ibadah kurban bebarti berupaya agar diri kita lebih dekat dengan hakikat Ilahi. Berkurban adalah upaya primordial untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki. Sebab, jika ditelaah dari dimensi metafisik, hakikat ciptaan semuanya berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya.
Menurut Nurcholish Madjid (2000), dalam bentuknya yang konkret, esensi ibadah kurban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudin melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya. Apa yang dicontohkan Ibrahim merupakan contoh seorang manusia yang mampu meninggalkan lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara. Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridha Ilahi.
Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia ini, tapi kemudian melupakan hidup yang lebih abadi di akhirat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikorbankan oleh ayahnya.

Pesan Damai
Secara simbolik, semangat berkorban menjadi cermin totalitas keimanan seseorang sekaligus kepasrahan diri dalam menjalankan seruan-seruan agama. Bagi Nurcholish Madjid, spirit berkorban adalah keonsekwensi logis dari taqwa kepada Tuhan. Sebab taqwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan akan membuat kita mampu melihat jauh ke depan; mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan. Dimensi eskatologis menjadi landasan logis bagi umat beriman untuk berkorban.
Ibadah Kurban tidak hanya memiliki makna teologis, melainkan juga memiliki nilai-nilai filosofis yang berdampak sosiologis. Pertama, penyerahan hewan kurban yang kita lakukan setiap tahun merupakan simbol dari solidaritas yang agung di antara umat islam. Hewan kurban yang kita keluarkan setiap tahun adalah respon kemanusiaan yang tentu menjadi ikhtiar untuk membantu saudara-sadara kita yang ditimpa kemiskinan dan kesengsaraan hidup.
Kedua, kurban sejatinya menyimpan pesan pembebasan dan perdamaian. Digantinya Ismail dengan seekor domba menyimpan pesan simbolik bahwa Tuhan ingin memaklumkan bahwa pengorbanan diri manusia dan harkat kemanusiaannya tidak dibenarkan oleh Tuhan. Drama tersebut juga menegaskan bahwa Tuhan Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.
Hal inilah yang barangkali lupa dikaji oleh aliran islam garis keras di negeri ini. Pengorbanan Ibrahim atas Ismail hanya ditafsiri sebagai bentuk pengejawantahan iman. Sehingga yang muncul di masyarakat adalah seolah-olah agama membenarkan kekerasan dan Tuhan hadir layaknya vampir yang haus darah. Radikalisasi agama adalah cermin kegagalan umat dalam memahami substansi dari ritual kurban.
Bom bunuh diri yang marak terjadi dalam satu tahun terakhir menjadi bukti nyata betapa mereka telah gagal menyelami samudra keislaman yang agung. Pada saat yang bersamaan mereka justeru mencabik-cabik nilai-nilai humanisme agama Islam. Atas dasar demi “membela Tuhan” mereka rela mengorbankan jiwa-raga serta harta benda dan keluarganya. Padahal tidak ada satu teks suci pun yang membenarkan bunuh diri atau membunuh saudaranya sendiri yang tidak berdosa.
Disinilah kemudian, penting bagi kita untuk merefleksikan ulang nilai-nilai pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim. Ali Syariati, sebagaimana dinukil KH. Hussein Muhammad menegaskan bahwa drama pergantian Ismail dengan domba telah mengubah persepsi Ibrahim tentang Tuhan. Sejak peristiwa tersebut Tuhan hadir dengan pesan perdamaian, tidak sebagaimana tradisi masyarakat waktu itu, yang mengorbankan diri manusia untuk dipersembahkan dan diabdikan kepada Tuhan.
Dalam konteks kekinian, drama tersebut juga dapat ditafsiri sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “kepentingan Tuhan”. Membunuh manusia hanya dibenarkan dalam kerangka kemaslahatan kemanusiaan yang lebih besar. Artinya, kita tidak dibenarkan mengorbankan manusia lainnya dengan dalih yang manipulatif, sekalipun dengan klaim demi kepentingan Tuhan.
Melalui kerangka berfikir semacam ini, kita dapat melihat esensi dari agama bagi manusia, yaitu sebagai pembebas atas dehumanisasi dan sekaligus pemupuk spirit perdamaian di dunia. Keyakinan semacam ini akan hadir dalam benak kita manakala peristiwa pengorbanan Ibrahim atas putra kesayangannya, Ismail, ditelaah dalam ranah simbolik-filosofis, bukan sebatas pemaknaan artifisial atau aksidental. Sebab, esensi kurban adalah upaya mendekatkan diri dengan Ilahi, dengan cara berbagi rezeqi, membangun solidaritas sosial dan perdamaian universal.

Imam S Arizal, peneliti Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tinggalkan komentar